Klub Bisnis Internet Berorientasi Action

Senin, 08 Maret 2010

ANTARA PENODAAN AGAMA DAN MIMPI



Saya menerima banyak pesan yang isinya peringatan mengenai suatu web/blog yang mereka pikir isi/content dari blog tersebut mengandung banyak unsur penodaan agama,web/blog tersebut antara lain:

- Fenomena_4_Aliran_Sesat_Di_Indonesia
- www.nahimunkar.com

kemudian, salah satu balasan/tanggapan mengenai ini ada yang menuangkannya di dalam suatu cerita sebagai berikut:

Syahdan, suatu malam, saat hujan turun dengan derasnya dan petir sambar menyambar, datang sebuah mimpi aneh. Mimpi ini benar-benar mimpi. Saya belum pernah bermimpi seperti ini. Tampak dalam mimpi saya, seorang anak kecil berlarian di pematang sawah di pelosok kampung daerah ujung Bekasi. Kulitnya dipenuhi dengan kudis dan kurap. Ingusnya hampir tak berhenti meleleh. Lidahnya sering menjulur-julur. Tampak ia kehausan dan kelaparan. Pakaiannya lusuh. “Bisa bantu saya, Mas. Saya Keni,” katanya, saat saya lewat dihadapannya.
Saya ulurkan tangan memberi uang sekedarnya. Belum sempat dia mengucapkan terimakasih, saya terbangun! Tangis anak saya memotong mimpi. Pada hari lain, mimpi itu datang lagi. ”Masih ingat saya Mas,” sapa seorang pemuda. Tentu saja saya terkejut. Saya pandangi wajah anak muda itu. Pemuda di hadapan saya ini seorang ”perlente”. Jasnya keren. Jamnya berkilau keemasan. Mukanya ”klimis”. Rambut keritingnya tersisir rapi. Wajahnya beberapa kali saya lihat di media massa. ”Saya Keni, Mas! Yang dulu Mas kasih bantuan. Terimakasih Mas, atas bantuannya,” ujarnya memperkenalkan.

”Lho, kamu?” saya nyaris tak percaya. ”Kamu yang sekarang jadi penghujat Nabi Muhammad!?” masih dengan nada tak percaya. ”Memangnya kenapa Mas? Sekarang kan zaman kebebasan. Saya kan kerja untuk LSM Kebebasan! Ini untuk kerja saja Mas. Itung-itung nebus masa kecil yang sengsara!” katanya, seperti tanpa beban.

”Kan kamu pernah ngaji di pesantren!” saya masih keheranan. Saya tatap wajah anak muda itu dalam-dalam. Ia agak salah tingkah.

”Ya, itu kan dulu! Sekarang zaman sudah beda Mas, yang penting uang; hidup enak. Saya dulu miskin, disepelekan orang. Sekarang saya bisa berbangga dan membantu orang tua. Saya tidak miskin lagi. Kalau pulang kampung, banyak yang bisa saya bantu,” ujar Keni lagi.

”Tapi, kan kamu jual iman, namanya. Apa kamu tidak takut pada Allah. Tidak kasihan sama orang tua kamu, yang mengharapkan agar kamu jadi anak shaleh?”

”Ah Mas ini, kayak tidak tahu saja! Orangtua saya juga tidak tahu aktivitas dan pemikiran saya yang sebenarnya.”

”Kamu keterlaluan, bertobatlah sebelum terlambat!”

”Bagaimana caranya bertobat Mas. Apa Mas mau ganti penghasilan saya yang puluhan juta rupiah sebulan? Saya sudah terlanjur Mas. Mungkin, ini sudah menjadi jalan hidup saya. Mungkin sudah takdir saya begini.”

”Masih ada kesempatan untuk bertobat! Kamu diperalat oleh hawa nafsu, oleh setan. Kamu menyangka memperjuangkan kebebasan, padahal itu kebebasan ala iblis! Itu bukan kebebasan dalam ajaran Islam. Masak orang yang melecehkan Islam dan mengaku Nabi kamu belain. Kasihan kamu dan orang tua kamu. Kamu disekolahkan agama jauh-jauh ke luar negeri, tetapi hasilnya malah kamu jadi begini. Kamu jadi perusak agama. Sadar nggak sih kamu dengan apa yang kamu lakukan!”

”Terus terang Mas, kadangkala saya juga sempat terlintas pikiran seperti itu. Ingin juga ke pesantren kembali, berjuang bersama dengan para kyai saya dulu. Tetapi, pikiran seperti itu segera saya tepis, karena tidak realistis. Saya harus berperan seperti ini! Ini tuntutan Mas!”

”Tuntutan dari siapa?” saya mendesak Keni untuk mengaku.

”Tidak bisa saya sebutkan, Mas! Pokoknya saya harus menyampaikan, bahwa Islam itu sudah usang. Islam harus dikecilkan. Islam tidak boleh tampil. Apalagi sampai diterapkan di tengah masyarakat dan tataran kenegaraan. Ini sangat berbahaya. Saya juga harus mengatakan bahwa Liberalisme dan Sekularisme itulah yang cocok bagi umat Islam dan bagi bangsa Indonesia, agar negara ini menjadi negara yang maju dan hebat seperti Amerika,” Keni mulai terbuka.

”Sepertinya, kamu tidak yakin dengan pikiranmu sendiri,” saya memancing agar Keni mau mengungkap lebih jauh lagi.

”Semula saya memang tidak yakin. Semula saya menjadi begini hanya karena pergaulan saja. Tapi, lama-lama saya merasakan sulit sekali keluar dari pemahaman seperti ini. Apalagi kebutuhan saya sudah dicukupi semua. Doakan saja Mas, siapa tahu, suatu ketika saya bisa berubah. Tapi, entahlah, apa bisa atau tidak,” ujarnya lirih, sambil menghela nafas.

”Tapi, kenapa kamu sampai berani menghina Nabi Muhammad?”

”Begini Mas cerita sebenarnya...”

Belum sempat Keni meneruskan kata-katanya, seorang wanita bule tiba-tiba muncul dan membentaknya: ”Keni!” Aneh, Keni langsung diam. Tampak dia hanya menunduk. Termangu, sambil menggosok-gosok tangan kanannya ke celana. Lalu, dia berujar pelan, sambil sesekali menengok ke arah saya:

“Sorry, Mam! Saya baru saja menyatakan pada Mas ini, bahwa sebenarnya Nabi Muhammad itu pelanggar HAM. Dia sebenarnya hanya ngaku-ngaku saja menjadi Nabi. Sama seperti Mirza Ghulam Ahmad dan Lia Eden. Kalau Muhammad boleh menyiarkan agamanya, mengapa Ghulam Ahmad dan Lia Eden tidak boleh? Umat Islam bisanya hanya marah saja. Umat Islam tidak menghargai Kebebasan Beragama. Umat Islam bisanya mengumbar emosi. Tidak santun. Saya kadang kala malu jadi orang Islam. Tidak seperti orang-orang Kristen dan Yahudi dan agama-agama lain, yang lebih ramah dan sabar dalam menghadapi kasus penodaan agama. Ya kan, Mas!? Saya kan tadi ngomong seperti itu!”

Saya bengong dan nyaris tak percaya dengan apa yang saya lihat. Keni, pemuda kampung yang dulu kudisan, miskin, sekarang jadi pemuda ”keren”, pintar, disanjung sampai manca negara sebagai pejuang Kebebasan Beragama. Bahkan, ada yang menjadikannya sebagai idola. Saya mencoba merenungkan, sedalam-dalamnya. Benarkah hanya karena masalah uang, dia jadi begini? Atau, ada masalah lain? Ah, peduli setan soal motif tindakan Keni. Juga, apakah yang disampaikan Keni itu bisa dipercaya atau tidak, itu tidaklah terlalu penting.

Saya pun mencoba merenung-renung, siapa wanita bule yang dipanggil ”Mam” dan begitu ditakuti Keni. Wanita setengah baya itu matanya tajam mengawasi gerak-gerik dan ucapan Keni. Pakaiannya menampakkan dia seorang terpelajar. Wajahnya lumayan cantik, untuk ukuran rata-rata orang bule.

Tak tahan dengan segala keanehan dan kejengkelan di hadapan saya, tiba-tiba saya berteriak sekeras-kerasnya: ”Keniiii...., kamu pen..........!”

”Mas, mas.....bangun....bangun....! Saya tersadar. Bangun. Lama saya duduk termangu; merenungkan mimpi ini. Benarkah ini hanya mimpi? Alhamdulillah, ini benar-benar mimpi. Segera saya baca doa bangun tidur


sumber: adianhusaini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar